Lampung Utara (M9G), - Di era sekarang, terutama di tahun 2025, istilah "kerja keras tak kenal lelah" rasanya sudah menjadi semboyan banyak mahasiswa. Jadwal padat, target penyelesaian tugas yang tinggi, dan dorongan untuk selalu produktif membuat istirahat seolah mencerminkan kemalasan. Budaya ini dikenal dengan sebutan hustle culture, yaitu sebuah pola pikir yang memuja kesibukan tanpa henti, layaknya seorang workaholic.
Tapi, benarkah hal ini baik?
Nyatanya, mahasiswa bukan robot. Dibalik padatnya aktivitas sebagai mahasiswa, ada tubuh dan pikiran yang seharusnya dijaga dan dirawat. Namun fenomena hustle culture ini memaksa mahasiswa untuk terus berlari, seolah keberhasilan hanya milik mereka yang tak pernah berhenti. Padahal pemaksaan ini justru akan berujung pada burnout, sebuah keadaan lelah fisik dan mental yang bisa menyebabkan kehilangan semangat dan arah hidup.
Faktanya, menurut data Kementerian Kesehatan RI tahun 2023, sekitar 34,6% mahasiswa mengalami gejala burnout akibat tekanan akademik dan sosial. Ini data pada tahun 2023, maka apa kabar di tahun 2025? Pasti jumlahnya semakin meningkat.
Mengapa? Ini karena pengaruh media sosial. Adanya konten-konten yang membuat mahasiswa tanpa sadar membandingkan dirinya dengan orang lain. Konten semacam "productive day in my life" di medsos memang terlihat mengispirasi namun di sisi lain, konten ini memberikan tekanan tak sehat. Riset dari We Are Social dan HootSuite di tahun 2024 mencatat bahwa 83% generasi muda merasa tertekan karena membandingkan pencapaian mereka dengan orang lain.
Burnout bukan lagi soal lelah biasa, tapi kondisi yang dapat berdampak pada mental, emosional, dan kesehatan fisik jangka panjang. Produktivitas sejati bukan tentang sibuk terus menerus, tapi tentang mengelola waktu dengan bijak termasuk tahu kalan harus istirahat. Sudah waktunya bagi mahasiswa, terutama mahasiswa yang tengah berjuang menyelesaikan tugas akhirnya, bahwa kesehatan itu penting.
Istirahat adalah hak, bukan sebuah kelemahan atau dosa. Kesehatan mental dan fisik adalah bagian dari kesuksesan. Daripada mengikuti budaya hustle yang melelahkan, akan lebih baik untuk menerapkan budaya "slow but meaningful", perlahan tapi berarti. Karena dalam hidul ini, bukan seberapa cepat kita sampai di tujuan tetapi seberapa mampu kita bertahan.(**)
Tulisan ini di tulis oleh Nanda Putri. Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Muhammadiyah Kotabumi (UMKO) sebagai salah satu indikator penilaian untuk mata kuliah Penulisan Berita dan Editorial.