Pringsewu (M9G), – Proyek pembangunan jalan rijid beton di ruas jalan provinsi Pekon Podosari, Kecamatan Pringsewu Kabupaten Pringsewu, menuai sorotan di lingkungan masyarakat setempat, Warga mengeluhkan aktivitas pembangunan yang diduga menimbulkan gangguan lingkungan, terutama dari operasional batching plant yang disebut-sebut tidak mengantongi izin lingkungan.
Keluhan tersebut direspons oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Triga Nusantara (Trinusa) Kabupaten Pringsewu. Ketua DPD LSM Trinusa Abdul Manaf menegaskan bahwa aktivitas proyek yang dijalankan oleh pihak pelaksana, yakni PT Manunggal Sulton raya, patut dipertanyakan aspek legalitas dan etika sosialnya.
“Menurut informasi yang kami terima dari warga, pembangunan jalan tersebut menggunakan fasilitas batching plant yang dibangun di kawasan permukiman tanpa izin lingkungan yang sah. Tidak ada sosialisasi sebelumnya kepada masyarakat sekitar. Ini tentu sangat disayangkan,” ujar Abdul Manaf kepada wartawan, Selasa (11/6/2025).
Abdul Manaf menambahkan, warga yang tinggal di sekitar lokasi proyek merasa terganggu oleh debu yang ditimbulkan dari aktivitas pekerjaan tersebut, serta resah karena area batching plant tidak dipagari. Anak-anak kerap terlihat bermain di sekitar lokasi, yang berpotensi menimbulkan bahaya keselamatan.
“Pagar pengaman seharusnya menjadi syarat mutlak untuk menjamin keamanan warga, apalagi anak-anak. Tapi faktanya lokasi terbuka dan tidak dilengkapi rambu atau pembatas yang memadai,” tegas Manaf.
Lanjutnya, Batching plant merupakan instalasi industri yang digunakan untuk mencampur bahan-bahan seperti semen, air, pasir, dan agregat,guna menghasilkan beton siap pakai (ready mix concrete). Umumnya digunakan dalam proyek infrastruktur berskala besar, keberadaan batching plant harus memenuhi ketentuan perizinan yang ketat,ditambah lagi proyek tersebut diduga siluman tanpa ada papan proyek.
Menurut Abdul Manaf, operasional batching plant harus mengantongi dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UKL-UPL) atau bahkan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), tergantung pada skala dan potensi dampak yang ditimbulkan.
“Selain izin lingkungan, lokasi batching plant juga harus sesuai dengan peruntukan tata ruang daerah dan wajib disosialisasikan kepada masyarakat. Ketika aspek-aspek ini diabaikan, maka potensi konflik sosial dan pencemaran lingkungan sangat besar,” jelasnya.
Manaf menilai, ketiadaan sosialisasi terhadap warga merupakan bentuk pengabaian terhadap prinsip partisipatif dalam pembangunan,Ia juga mempertanyakan peran pemerintah daerah dan instansi teknis yang seharusnya melakukan pengawasan terhadap proyek-proyek besar yang menggunakan ruang publik dan berdampak langsung terhadap masyarakat.
Abdul Manaf mendesak pihak pelaksana proyek, PT Manunggal Sulton raya, agar segera memberikan klarifikasi kepada warga terdampak. Ia juga meminta agar operasional batching plant dihentikan sementara sampai seluruh aspek perizinan dipenuhi dan komunikasi dengan masyarakat berjalan secara transparan.
“Kami minta pihak perusahaan untuk tidak mengabaikan aspirasi warga,Jika memang belum memiliki izin lengkap, kami mendesak agar kegiatan tersebut dihentikan sementara. Jangan sampai proyek infrastruktur justru menciptakan masalah baru di tengah masyarakat,” imbuh Manaf.
Ia juga berharap instansi teknis di tingkat kabupaten maupun provinsi turun langsung melakukan inspeksi ke lapangan, Menurutnya, pengawasan terhadap proyek-proyek pembangunan tidak bisa dilakukan secara parsial dan harus melibatkan pengawasan sosial dari warga maupun lembaga-lembaga kontrol masyarakat.
“Kami akan terus memantau perkembangan di lapangan. Jika tidak ada respon dari pihak perusahaan atau pemerintah, kami tidak segan menyampaikan temuan ini ke instansi yang lebih tinggi, termasuk ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,” tandasnya.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada keterangan resmi dari pihak PT Manunggal Sulton raya terkait dugaan ketiadaan izin lingkungan maupun dampak sosial dari proyek tersebut.
(Delta.A)